Rabu, 09 Desember 2009

Budaya Pulau Bangka Belitung (1)

Tari Campak


Tari Campak merupakan salah satu tarian Tradisional yang ada di Pulau Bangka Belitung. Tari Campak menggambarkan kecerian Bujang Dayang (muda-mudi) yang ada di Pulau Bangka Belitung.
















Tari Campak ini biasanya dibawakan setelah panen padi atau sepulang dari uma (kebun). Tarian ini berupa pantun bersambut yang biasanya didendangkan oleh sepasang penari yang terdiri dari Penari Perempuan yang disebut nduk campak dan Penari Pria yang disebut penandak.


Tari Campak diiringi dengan irama yang khas yaitu tabuhan dari Gendang, Biola, dan Gong yang ditabuh/dipukul secara berkala. Para Penari menggunakan Selembar Saputangan yang dikibas-kibaskan mengiringi lenggok gemulai para Penari. Pasa saat tarian ini berlangsung biasanya penonton bebas memberi Sawen kepada Penari Perempuan (nduk campak).


Tari Campak ini digunakan sebagai hiburan dalam berbagai penyambutan tamu atau pada saat pernikahan di Pulau Bangka Belitung.






Budaya Pulau Bangka Belitung (2)

Kain cual


Kain Cual adalah kain Adat Pulau Bangka Belitung yang bentuknya mirip seperti Kain Songket, tetapi mempunyai motif khas tersendiri yang membedakannya dengan kain songket. Kain Cual merupakan hasil tenunan dengan warna-warna yang cerah. Kain ini lebih luwes dan lembut serta selalu disertai motif Flora dan Fauna.

Kain Cual merupakan kain khas Pulau Bangka Belitung sejak abad XVII dan XVIII Pada abad ini Kain Cual ditenun menggunakan Benang Emas. Dalam sejarahnya Kain Cual dibawa ke Mentok Bangka Barat pada awal abad XVII oleh Wan Abdul Hayat, orang Kanton China degan nama asli Lim Tan Kian. Untung saja masih ada masyarakat Bangka Belitung yang terus menjaga dan melestarikan kain ini kalau tidak mungkin saja kain ini sudah tidak ada.

Penenunan secara manual dan pembuatannya yang memakan waktu selama 3 bulan membuat Kain Cual mempunyai harga yang cukup tinggi. Akan tetapi kita sekarang dapat membeli Kain Cual yang diproduksi secara massal dengan harga yang lebih terjangkau.

Saat ini Kain Cual digunakan untuk berbagai keperluan seperti Kebaya, Sarung, Stanjak (topi seperti mahkota), Hiasan Dinding, Selendang, Sarung Tangan, dan lainnya.



Gambar: www.mediaindonesia/com















Rabu, 02 Desember 2009

Adat Istiadat Pulau Bangka Belitung (1)

MANDI BELIMAU

Mandi Belimau adalah salah satu adat istiadat di Pulau Bangka Belitung yang diadakan menjelang Bulan Ramadhan. Pelaksaan Mandi Belimau ini bertujuan untuk membersihkan diri menjelang Bulan Ramadhan.

Upacara diawali dengan kegiatan Napak Tilas yaitu melakukan ziarah dan tabur bunga di makam Depati Bunter, Desa Kimak yang ditempuh dengan menggunakan perahu motor untuk menyeberang sungai. Setelah melakukan ziarah semua orang yang ikut kegiatan ini pulang kembali dan menuju Dusun Limbung Desa Jada Bahrin untuk melakukan ritual Mandi Belimau tersebut.
Ritual Adat Mandi Belimau dimulai dengan Pengutaraan niat yang disertai doa yang dipimpin oleh Haji Ilyasak keturunan kelima dari Depati Bahrin yang sekarang adalah sebagai Pemuka Adat Kecamatan Merawang. Dalam Upacara ini Haji Ilsyak sebagai pemimpin menggunakan Kain Putih,sementara lima Pemuka Adat lainnya yang membantu menggunakan kain berwarna Hijau, Merah, Kuning, Hitam, dan Kelabu. Selanjutnya pelaksanaan mandinya dilakukan di depan Sungai Limbung, yang dimulai dengan membasahi telapak tangan dari kanan dan kiri, kemudian kaki kanan dan kiri yang diteruskan membasahi ubun-ubun dan seluruh anggota tubuh dengan siraman air yang dicampur dengan jeruk limau yang disimpan dalam gentong air.







Masyarakat yang ingin dimandikan sebelumnya dianjurkan terlebih dahulu
berdoa apa saja untuk kebaikan mereka. Selain itu banyak masyarakat yang juga membawa pulang air yang digunakan pada ritual Mandi Belimau ini karena mereka meyakini bahwa air ini mempunyai khasiat tertentu.
Ritual adat Mandi Belimau ini adalah simbol-simbol tradisi yang baik untuk perenungan dan pensucian diri baik lahir maupun batin. Diharapkan simbol-simbol Mandi Belimau ini dapat membekas bagi masyarakat untuk kehidupan selanjutnya dan bukan hanya prosesi saja.

Gambar: metrobangkabelitung.wordpress.com & http://www.bangka.go.id/






























































































Adat Istiadat Pulau Bangka Belitung (2)

SEMBAHYANG REBUT (CHIT NGIAT PAN)



Sembahyang Rebut atau Chit Ngiat Pan adalah salah satu adat kepercayaan warga Tionghoa yang ada di Pulau Bangka Belitung. Warga Tionghoa percaya pada tanggal 15 bulan 7 menurut perhitungan tanggal Cina pintu akhirat terbuka lebar, sehingga arwah-arwah yang berada didalamnya keluar dan bergentayangan di Dunia. Di Dunia arwah-arwah ini terlantar dan tidak terawat oleh karena itu manusia (warga Tionghoa) menyiapkan ritual khusus untuk memberi bekal seperti makanan, pakaian, dan uang agar arwah-arwah ini tidak mengganggu manusia.
Ritual Sembahyang Rebut ini, tidak hanya dikunjungi oleh warga Tionghoa saja tapi ada juga warga-warga lainnya.



Ritual ini dimulai dengan pembacaan doa sambil membakar Hio oleh para pengunjung di dalam kuil (disebut Sembahyang). Selain di dalam kuil diluar kuil juga diletakan sesajian-sesajian yang diletakkan di Altar besar, dan katanya sesajian inilah yang menjadi jamuan untuk para arwah. Setelah itu ritual dilanjutkan dengan upacara Rebutan Sesajian yang ada di Altar tersebut.
Puncak dari ritual ini adalah pembakaran Patung Thai Se Ja. Patung Thai Se Ja ini dibuat dari kertas. Patung ini disimbolkan sebagai dewa akhirat yang akan membawa arwah-arwah yang gentayangan tersebut kembali ke akhirat. pada saat pembakaran Patung Thai Se Ja juga di bakar rumah-rumahan,uang-uangan, dan pakaian yang juga dibuat dari kertas. Semua barang-barang ini konon katanya digunakan para arwah pada saat perjalanan pulang kembali ke akhirat.
Pembakaran Patung Thai Se Ja menandakan bahwa arwah-arwah telah kembali ke dunianya lagi. Dan manusia dapat menjalani kehidupan di duina lagi tanpa takut diganggu arwah-arwah gentayangan tersebut.








Gambar: flicky.com/photos & arsip.pontianakpost.com





























Minggu, 29 November 2009

Adat Istiadat Pulau Bangka Belitung (3)

BUANG JONG
Asal Mula Upacara Buang Jong
Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya selama ratusan tahun menetap di lautan, baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan dan hanya pergi ke laut apabila ingin mencari hasil laut. Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang didalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal).
Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yaitu antara bulan Agustus-November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyaraka suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka pada saat berlayar ke laut untuk mencari ikan. Upacara Buang Jong ini dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam.



Alur Pelaksanaan Upacara Buang Jong

Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yaitu prosesi mengundang mahluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang, Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.
Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan mengoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa keempat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan untuk ikiut bergabung dalam ritual Buang Jong ini. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut Jitun.




Selain menampikan Tarian Ancak, masih ada tarian lain yang juga ditampilkan dalam upacara Buang Jong yaitu Tarian Sambang Tari. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan kehilangan arah, burung inilah yang menunjukan jalaan pulang untuk para nelayan. Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual
Numbak Duyung, yaitu mengikat tali pada sebuah pangkal tombak sambil membaca mantra. Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, sehingga konon katanya dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon bila ikan yang di dapat banyak maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut.
Setelah itu upacara Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli Jong. Pada acara ini orang darat (penduduk sekitar perkampungan Suku Sawang) juga dilibatkan. Jual-beli disini bukan menggunakan uang tetapi pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi pada saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yaitu menyanyikan lagu-lagu khas Suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambumg dengan Nyalui, yaitu acara untuk mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal.
Upacara ini diakhiri dengan melarung atau membuang miniatur kapal bersama berbagai macam sesajian ke laut. Setelah pelarungan, masyarakat Suku Sawang dilarang untuk melaut selama tiga hari ke depan.

Tempat Pelaksanan Upacara Buang Jong
Biasanya Upacara Buang Jong ini diadakan di kawasan Pantai yang dekat dengan perkampungan masyarakat Suku Sawang. Salah satunya adalah di kawasan Pantai Tanjung Pendam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung.






Gambar: www.kaskus.us/showthread & begalor.com/online/photo-galeri





































































































Jumat, 27 November 2009

Budaya Pulau Bangka Belitung (3)

PAKAIAN ADAT PENGANTIN


Setiap provinsi di Indonesia mempunyai Pakaian Adat. Di Pulau Bangka Belitung sendiri selain mempunyai Pakaian Adat, Pulau ini juga mempunyai pakaian adat pengantin. Di bawah ini saya akan membahas Pakaian Adat Pengantin Kota Pangkal Pinang.
Asal usul Pakaian Adat Pengantin ini menurut keterangan orang zaman dulu yang berasal dari negri Cina, menurut mereka ada saudagar dari Arab yang datang ke negri Cina sambil memberitakan agama Islam dan saudagar ini jatuh cinta pada seorang gadis cina. kemudian mereka melangsungkan pernikahan, pada pernikahan ini mereka menggunakan Pakaian Adat negri masing-masing. Selanjutnya,karena banyaknya orang-orang Cina dan Arab yang datang merantau ke pulau Bangka terutama ke Kota Mentok yang merupakan pusat pemerintahan pada saat itu. Diantara para perantau itu ada yang melakukan pernikahan di pulau bangka. Oleh karena itu banyak orang Bangka yang meniru Pakaian Adat Pengantin tersebut.
Pakaian Adat Pengantin ini pada akhirnya disebut " Paksian". Pakaian Adat ini terdiri dari Pakaian Adat Pengantin Perempuan dan Pakaian Adat Pengantin Pria


Pakaian Adat Pengantin Perempuan
Pakaian Adat Pengantin Perempuan terdiri dari baju kurung dengan bahan beludru merah yang dilengkapi dengan teretai atau penutup dada serta menggunakan kain Cual yaitu kain tenun asli Bangka yang berasal dari Mentok. Selain itu para Pengantin Perempuan juga menggunakan Hiasan Kepala dan dilengkapi dengan asesoris-asesoris antara lain:
1. Kembang Cempaka
2. Kembang Goyang
3. Daun Bambu
4. Kuntum Cempaka
5. Sepit Udang
6. Pagar Tenggalung
7. Sari Bulan
8. Tutup Sanggul atau Kembang Hong
9. Kalung
10. Anting Panjang
11. Gelang
12. Pending Untuk Pinggang

Baju Pengantin Perempuan ditambah dengan hiasan Payet atau Manik-Manik dan dilengkapi dengan hiasan Ronce Melati untuk keindahan dan keharuman alami (bukan keharusan).





Pakaian Adat Pengantin Pria

Untuk Pakaian Adat Pengantin Pria terdiri dari:
1. Jubah Panjang Sebatas Betis
2. Selempang yang dipakai pada bahu sebelah kanan
3. Celana
4. Penutup kepala seperti Sorban (Sungkong )
5. Pending
6. Selop/ Sandal Arab

Pakaian Pengantin Pria ini berwarna merah dan biasanya dari bahan beludru dengan hiasan Manik-Manik dan sama seperti Pengantin Perempuan dilengkapi dengan hiasan Ronce Melati untuk keindahan dan keharuman alami (bukan keharusan)




Hiasan & Tata Rias

1. Hiasan Dahi
Memakai penutup dahi yang diberi nama "Paksian" dan di dahi di pasang Saribulan, Pagar Tanggalung, dan Sepit Udang pada samping kiri kanan telinga ( Godeg)

2. Bentuk Sanggul
Konde Tilang yang terbuat dari gulungan daun pandan atau lipatan daun pandan yang diisi dengan bunga rampai yang terdiri dari bunga mawar, melati, kenanga dan irisan daun pandan. Pada zaman dulu yang dipakai adalah sanggul cumpok atau cepul.




MAHKOTA PAKSIAN






SORBAN atAu SUNGKON

Gambar: www.visitbangka belitung.com